Kisah Industri Gula di Selatan Vorstenlanden

PG Sewugalur 1917 (Foto KITLV)

    Indonesia, bekas wilayah Hindia-Belanda ini adalah negeri kaya raya yang dulu hasil alamnya menyumbang banyak sekali pundi-pundi uang untuk bangsa Belanda. Selain rempah-rempah dari timur Indonesia, sejarah juga menuliskan bahwa Belanda juga sangat mengandalkan hasil perkebunan di Sumatra dan Jawa. Kopi, tembakau, gula, karet, teh, indigo ditanam di wilayah-wilayah subur di negeri ini untuk menjadi komoditas ekspor.

    Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, dibentuk dua kerajaan yang merupakan pecahan Kerajaan Mataram, yakni Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Dua kerajaan ini disebut Vorstenlanden, wilayahnya seluas keresidenan Yogyakarta dan Surakarta bentukan Belanda. Bagian utara Yogyakarta berbatasan dengan gunung Merapi, sedangkan bagian timur Surakarta adalah dataran tinggi yan berbatasan dengan Gunung Lawu. Lereng Merapi ke selatan dan lereng Lawu ke barat merupakan daerah yang subur. Maka, selain sebagai pusat budaya Jawa, Vorstenlanden juga menjadi daerah perkebunan yang subur. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, daerah ini menjadi lumbung beras dan bisa mengekspor beras. Setelah perkebunan masuk, areal persawahan di Vorstenlanden juga ditanami indigo, kopi, tebu, dan tembakau (Pranoto: 2010). Sistem tanam paksa yang dilakukan Belanda sebenarnya bukan barang baru bagi Vorstenlanden karena sejak akhir abad ke-18, tanah-tanah para bangsawan sudah disewakan ke orang-orang Cina, dan selanjutnya orang-orang Belanda. Mereka menyuruh para petani menanam tanaman tertentu seperti model seperti tanam paksa.

Perkebunan membuat pembangunan infrastruktur di Vorstenlanden sangat berkembang. Sebelum pembangunan jalur kereta api, daerah Vorstenlanden sudah banyak terdapat jalan penghubung antar wilayah. Untuk mengubungkan dengan pantai utara, transportasi utamanya menelusuri Sungai Bengawan Solo. Lalu pada tahun 1867 baru dibuka jalur kereta api dari Semarang ke Vorstenlanden untuk memperlancar pengangkutan hasil perkebunan.

Tahun 1839 disahkan aturan perluasan daerah perkebunan, memberi kesempatan kepada para penyewa untuk memperluas areal perkebunan. Daerah Yogyakarta banyak ditanami kopi dan indigo karena memang sawah di Yogyakarta cocok untuk menanam indigo. Tahun 1860, terjadi kemarau panjang yang menyebabkan penurunan tanaman indigo dan banyak petani indigo mengeluh karena pekerjaannya terlalu berat, selain itu, komoditas ekspor gula mulai banyak dicari di pasar Eropa, maka pada tahun itu terjadi perluasan perkebunan tebu dan banyak pengusaha ingin mengalihkan usahanya ke tebu.

Sebenarnya tanaman tebu sudah lama dibawa ke Jawa, yakni abad ke-15 oleh pedagang Cina. Usaha pabrik gula di Nusantara pun awalnya dirintis oleh etnis cina sampai pada pertengahan abad ke-18, pabrik-pabrik milik etnis cina di pantura disewa oleh VOC untuk produksi gula. Bisnis gula mengalami pasang surut. Dari 130 pabrik gula di Pulau Jawa tahun 1710, banyak yang gulung tikar hingga pada tahun 1776 hanya menyisakan 55 pabrik. Setelah VOC gulung tikar dan digantikan oleh pemerintah Belanda abad ke-19, dikeluarkan UU Agraria yang mengatur penyewaan tanah berjangka panjang, hal ini menyebabkan peningkatan investasi untuk pendirian pabrik gula.

    Peningkatan permintaan gula di Eropa ditanggapi pemerintah Belanda untuk melakukan ekstensifikasi perkebunan tebu yang merupakan bahan baku gula. Wilayah Yogyakarta yang subur pun terkena imbas ekstensifikasi dalam rentang tahun 1862-1866 ini. Sebagai gambaran perkebunan tebu di Vorstenlanden, dari 51 perkebuan di wilayah Yogyakarta, 11 di antaranya ditanami tebu, sedangkan di Surakarta, dari 138 perkebunan, 44 ditanami tebu. Setelah ekstensifikasi, luas perkebunan tebu di Yogyakarta yang semula 14.998 bau pada tahun 1862 bertambah menjadi 16.435 bau di tahun 1866. Pertambahan luas ini diikuti peningkatan hasil tebu di Yogyakarta yang mencapai 64.500 pikul pada tahun 1866 dari sebelumnya hanya 20.751 pikul pada tahun 1862 (Pranoto, 2010:77)

Salah satu daerah Vorstenlanden yang sawahnya subur dan diairi sepanjang tahun adalah Bantul, berada di selatan Yogyakarta. Pada masa ekstensifikasi, luas perkebunan tebu di Bantul meningkat dari 1.022 bau menjadi 1.496 bau, dan produksi tahun 1866 mencapai 6.000 pikul tebu. Jumlah ini berkembang pesat sekitar 3 dekade setelahnya. Tahun 1890, dari 5 perkebunan yang ada di Bantul, hasil gula mencapai 136.600 pikul, tahun berikutnya, jumlahnya meningkat menjadi 137.080 pikul. Jumlah tersebut menduduki kedua terbanyak di seluruh keresidenan Yogyakarta setelah Sleman (Pranoto, 2010:78).

    Untuk mendukung industri gula, selain ekstensifikasi perkebunan, turut dibangun pabrik-pabrik gula di Yogyakarta. Tahun 1860, di Yogyakarta didirikan pabrik gula tenaga air, lalu disusul pembangunan empat pabrik lagi, kemudian tujuh pabrik didirikan lagi dan salah satunya menggunakan tenaga uap. Pada masa kejayaan industri gula, di wilayah Yogyakarta yang tak terlalu luas ini berdiri 17 pabrik gula. Pabrik-pabrik itu adalah Pabrik Gula Gondang Lipuro (Ganjuran), Pabrik Gula Padokan, Pabrik Gula Gesikan, Pabrik Gula Jebugan (Bantul), Pabrik Gula Barongan, Pabrik Gula Pundong, Pabrik Gula Kedhaton Pleret, Pabrik Gula Rewulu, Pabrik Gula Demakijo, Pabrik Gula Cebongan, Pabrik Gula Beran, Pabrik Gula Medari, Pabrik Gula Sendangpitu, Pabrik Gula Sewu Galur, Pabrik Gula Tanjungtirto, Pabrik Gula Randugunting, dan Pabrik Gula Wonocatur. Dari 17 pabrik, 6 di antaranya berada di Bantul, yakni Pabrik Gula Padokan, Pabrik Gula Jebugan, Pabrik Gula Gondang Lipuro, Pabrik Gula Gesikan, Pabrik Gula Barongan, dan Pabrik Gula Pundong (Pramusito:2010).

Penghasilan dari gula selain menguntungkan Belanda juga memberi penghasilan bagi Sultan selaku pemilik tanah. Mangkunegoro, Sultan Yogyakarta, dan Susuhunan Solo menghapuskan sistem pembayaran para priyayi dan abdi dalem dengan tanah dan menjadikan tanah itu sebagai perkebunan gula dan pabrik-pabriknya. Dari penghasilan pabrik gula tersebut abdi dalem digaji. (Kam:2002). Pabrik gula dan perkebunannya juga menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat baik sebagai petani atau buruh. Pria maupun wanita dan anak-anak dipekerjakan di industri ini meski upahnya sangat minim.

    Penopang lain bagi industri gula adalah jalur transportasi kereta. Pada masa itu, dari kota Yogyakarta hingga daerah Bantul selatan seperti Pundong dan Ganjuran dapat terhubung bebas hambatan dengan rel kereta yang dibangun perusahaan NIS. Juga daerah dekat perbatasan Bantul-Kulon Progo yang terdapat Pabrik Gula Sewu Galur. Pabrik Gula Pundong dan Sewu Galur menjadi stasiun terakhir jaringan yang melewati rute Ngabean dan Pasar Gede. Kereta tidak hanya sebagai moda transportasi pengangkut tebu ke pabrik, masa itu kereta juga melayani penumpang, sehingga stasiun-stasiun pun tidak hanya didirikan di pabrik gula saja. Menurut peta yang dibuat oleh H.J. te Riele tahun 1929, rute kereta dari Yogyakarta ke Bantul adalah sebagai berikut Ngabean- Kotagede –PG Kedaton Pleret- Jetis- PG Barongan- Patalan- PG Pundong, sedangkan yang berakhir di PG Sewu Galur dari Ngabean melewati PG Madukisma-Bantul-Palbapang-PG Sewu Galur. 

Pemilik pabrik gula di Bantul semuanya orang Belanda, sehingga beberapa daerah di Bantul, terutama sekitar pabrik gula, berdiri bangunan-bangunan seperti perumahan, rumah ibadat, dan tempat rekreasi. Walau tidak banyak tersisa, namun ada beberapa yang masih dapat dikenali. Di daerah kota Bantul, di sekitar Pabrik Gula Jebugan dulu dikelilingi loji-loji rumah orang Belanda serta beberapa rumah karyawan pabrik, selain itu dulu juga terdapat kolam renang. Di daerah Ganjuran tempat Pabrik Gula Gondang Lipuro, sang pemilik pabrik, Schmutzer bersaudara, mendirikan gereja Ganjuran yang memadukan beragam gaya arsitektur. Schmutzer bersaudara juga yang mendirikan klinik yang kini menjadi RS Panti Rapih.

Roda ekonomi terus berputar, hal yang lazim jika sebuah usaha mengalami pasang surut. Hal ini berlaku juga di Hindia-Belanda pada masa mallaise, depresi ekonomi global yang terjadi tahun 1930. Pada waktu itu produksi gula surplus dan harga gula di pasaran internasional anjlok. Beberapa pabrik gula tak sanggup melawan hantaman krisis itu. Pada tahun 1931 terjadi kesepakatan perdagangan gula yang dikenal sebagai Charbourne Agreement. Pada perjanjian itu Pemerintah Belanda diharuskan mengurangi jumlah produksi. Jawa diwajibkan menurunkan produksi gulanya dari sekitar 3 juta ton menjadi tidak lebih dari 1,4 juta ton per tahun. Hal ini berlaku juga untuk wilayah Yogyakarta. Sembilan pabrik gula tumbang dan harus ditutup. Pabrik-pabrik yang masih bertahan melewati masa mallaisse ada delapan, yakni Pabrik Gula Tanjungtirto, PG Kedaton Pleret, PG Cebongan, PG Beran, PG Medari, serta yang ada di daerah Bantul ada Pabrik Gula Gondang Lipura, PG Padokan (Madukismo), dan PG Gesikan. 

Sebelum krisis global itu terjadi, industri gula adalah penggerak utama kapitalisme di Jawa. Perekonomian kolonial berpusat di pulau Jawa karena ekspor gula dari pulau Jawa sebelum tahun 1930 merupakan seperempat dari penghasilan Pemerintah Hindia-Belanda. Jaman mallaisse memporak-porandakan perekonomian di Jawa. Setelah 1930-an, Jawa bukan lagi pengekspor/penghasil devisa karena gula andalannya tak lagi jadi primadona ekspor. Sebenarnya mallaisse mempengaruhi ekspor semua hasil perkebunan, namun dibandingkan gula, karet terlebih dahulu sembuh dari depresi ekonomi karena adanya perang dunia (Kam:2002)

Setelah masa mallaise, pabrik gula yang masih berdiri terus berproduksi. Bahkan satu dekade setelahnya, pabrik gula di Yogyakarta sempat mencapai hasil produksi yang mengagumkan. Hal ini menurut catatan J. Marches disebabkan kualitas tebu Yogyakarta adalah kualitas nomor satu. Pada tahun 1941, hanya ada 5 pabrik gula yang mampu menghasilkan gula lebih dari 200 kuintal per hektar lahan, dua di antaranya berada di Yogyakarta, khususnya di Bantul. PG Gondang Lipura menduduki peringkat pertama sedangkan PG Padokan peringkat ke-4. Hal ini membuat Bantul menjadi penghasil gula terbaik pada masa itu. Sejarah panjang kabupaten Bantul dengan industri gula inilah yang melahirkan makanan khas geplak. Makanan ini terbuat dari parutan kelapa muda dicampur gula tebu, kira-kira dibuat pertama tahun 1912. Konon, pada masa paceklik dulu masyarakat Bantul mengonsumsi geplak sebagai makanan pokok. Padahal makan geplak hampir sama rasanya dengan makan gula, manis bukan main.

Masa pendudukan Jepang produksi gula di Pulau Jawa dipangkas karena sumber daya ekonomi Hindia diarahkan untuk kepentingan Jepang, tidak lagi melayani pasar Barat. Namun beberapa pabrik gula di Bantul seperti Gesikan dan Padokan masih beroperasi. Dengan sebagian pabrik gula yang sudah tidak berproduksi lagi, agaknya turut mempengaruhi transportasi kereta yang semula juga digunakan untuk pengangkutan tebu. Buktinya, pada jaman pendudukan Jepang, rel kereta yang menghubungkan PG Barongan dan PG Pundong lewat Patalan dicabut dan dibawa ke luar negeri untuk membuat jalur kereta api menghubungkan Burma(Myanmar) dan Thailand. Hal ini mungkin disebabkan karena sejak matinya pabrik gula Barongan dan Pundong, jalur tersebut tak berfungsi lagi.

Setelah Jepang pergi, Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan yang tadinya milik Belanda. Termasuk pabrik-pabrik gula. Namun, justru setelah Indonesia merdeka, pabrik-pabrik gula di Yogyakarta, khususnya Bantul, menemui kehancurannya. Pada agresi militer Belanda yang ke-2 tahun 1948, di wilayah Bantul terjadi pembumihangusan bangunan-bangunan vital, di antaranya kantor kecamatan, kantor pos, gudang garam dan candu, sekolah, kantor kabupaten, pegadaian, termasuk pabrik-pabrik gula juga turut dimusnahkan.

Saat Belanda masuk ke wilayah Yogyakarta, Pabrik Gula Padokan langsung diduduki dan dijadikan markas. Waktu itu Bantul dikepalai Bupati Kanjeng Labaningrat, dan beliau mendukung serta memberikan surat perintah kepada gerilyawan daerah untuk melakukan pembumihangusan agar Bantul tidak diduduki oleh Belanda. Hal ini didukung sepenuhnya oleh rakyat Bantul. Pembumihangusan dimulai dari Pabrik Gula Gesikan. Dipimpin oleh pimpinan Barisan Pemberontak Republik Indonesia, Djarot, tanggal 24 Desember 1948 Pabrik Gula Gesikan dihancurkan dengan bom, padahal waktu itu di dalam pabrik masih terdapat ribuan kuintal gula pasir. Setelah itu bekas Pabrik Gondang Lipura dan terakhir Pabrik Gula Padokan pun diratakan dengan tanah demi membela kedaulatan Indonesia.

Kemerdekaan Indonesia memang dibayar sangat mahal. Hasil usaha rakyat bertahun-tahun harus dimusnahkan demi mempertahankan wilayah. Kejayaan perusahaan-perusahaan penghasil komoditas ekspor seperti pabrik gula tinggal kenangan saja. Sejak hancurnya pabrik-pabrik gula, banyak rakyat kehilangan pekerjaan. Untunglah, berkat jasa pengorbanan Sri Sultan HB IX selama perang mempertahankan kemerdekaan, pemerintah pusat memberi ‘hadiah’ berupa pabrik gula baru di wilayah Yogyakarta. Sebenarnya ini gagasan Sultan sendiri, semata-mata untuk memberdayakan kembali rakyat yang banyak menganggur juga para petani penanam tebu. Ada 2 pilihan lokasi pendirian pabrik gula baru, yakni di bekas pabrik Gesikan atau Padokan. Akhirnya dipilih eks lokasi Pabrik Gula Padokan untuk didirikan pabrik gula baru yang kini dinamai PG Madubaru atau populer sebagai PG Madukisma. Pabrik yang pembangunannya selesai tahun 1955 ini enam kali lebih besar dari PG Padokan, dilengkapi alat-alat baru dari Jerman, dan kini juga memproduksi spritus. Jadi, pabrik gula di Bantul sebelah utara ini bukan peninggalan Belanda, sejak awal sepenuhnya dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Sisa-sisa kejayaan industri gula di jaman Belanda kini sudah nyaris tidak ada lagi di wilayah Yogyakarta. Walau di daerah Yogyakarta, Bantul khususnya, masih terdapat banyak kebun tebu, namun pengolahannya praktis hanya di Madukisma. Lima bekas pabrik gula di Bantul digantikan dengan gedung sekolah, hutan, perumahan, bahkan rumah sakit. Di Bantul, bekas PG Jebugan kini menjadi kompleks sekolah, PG Gondang Lipura menjadi kompleks sekolah dan pemukiman, serta tempat ziarah gereja Ganjuran, PG Pundong menjadi Rumah Sakit Rehabilitasi Penyandang Cacat, PG Barongan menjadi kantor Dinas Peternakan Bantul , PG Gesikan menjadi hutan tempat praktikum. Yang masih tertinggal mungkin hanyalah gorong-gorong bawah tanah tempat pembuangan limbah pabrik dan bekas jalur kereta api yang sebenarnya bisa menjadi rintisan transportasi publik yang cepat dan aman. Sekarang rel-rel itu ditutup jalan beraspal dan stasiun-stasiunnya didirikan rumah-rumah. Orang-orang di selatan Bantul tak bisa menikmati warisan sistem transportasi publik ini, mereka harus menempuh belasan, bahkan puluhan kilometer mengendarai motor yang semakin menyesaki jalan atau berdesak-desakan dalam bis untuk menuju ke Yogyakarta, pusat peradaban DIY. Sekarang pemerintah impor gula saat pasokan dalam negeri berkurang, padahal dulu orang Bantul sempat ‘makan gula’.

 

 

Daftar Pustaka

Ham, Ong Hok. 2002. Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong: Refleksi Historis Nusantara.

Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Jong, L. De (ed). 1987. Pendudukan Jepang di Indonesia: Suatu Ungkapan Berdasarkan

Dokumentasi Pemerintahan Belanda. Den Haag: Kesaint Blanc

Pramusito, Madusari dan Syarif Dhardjono. 2010. Setetes Embun Perjuangan di Kabupaten

Bantul Yogyakarta 1942-1986. Bantul: self-publishing.

Pranoto, Suhartono W., 2010. JAWA(Bandit-Bandit Pedesaan): Studi Historis 1850-1942.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

 

Sumber dari internet

Raditya, Iswara N. 2010. Geplak Bantulhttp://www.wisatamelayu.com/id/tour/1017-Geplak-Bantul/navcat, diakses pada 8 Januari 2013.

Arifianto, Fajar. 2010. Penelusuran Ex Jalur Kereta Api NIS Ngabean-Pundong. http://keretafajar.blogspot.com/2010/10/penelusuran-ex-jalur-kereta-api-nis.html, diakses pada 5 Januari 2013.

Junikustanto. 2008. Sisa Jejak Cagar Budaya dan Sejarah Kota Bantul. http://junikust.blogspot.com/2008/06/sisa-jejak-cagar-budaya-dan-sejarah.html, diakses pada 5 Januari 2013.

Eko, Fajar. 2011. Sejarah Pabrik Gula di Pulau Jawahttp://fajareko-fs.blogspot.com/2011/11/sejarah-pabrik-gula-di-pulau-jawa.html, diakses pada 5 Januari 2013.

Ardian, Aan. Gereja Ganjuran. http://www.kotajogja.com/wisata/index/Gereja-Ganjuran. diakses pada 5 Januari 2013.

 

Sejarah Pabrik Gula Madubaru.

http://madubaru.comyr.com/sejarah/sejarah_ptmb.html

http://madubaru.comyr.com/sejarah/sejarah_ptmb2.html

http://madubaru.comyr.com/sejarah/sejarah_ptmb3.html

http://madubaru.comyr.com/sejarah/sejarah_ptmb4.html, diakses pada 8 Januari 2013.

 

Komentar

  1. mantap paparan sejarahnya, sebenarnya mungkin keadaan waktu itu seperti buah simalakama. Kalau tidak dihancurkan ditakutkan akan menjadi basis belanda lagi, tetapi jika dihancurkan maka tidak akan ada lagi sistem transportasi yang mengagumkan untuk ukuran bantul dan yogya pada waktu itu. Sungguh sayang sistem rel kereta api yang sebenarnya menggabungkan beberapa wilayah harus dihancurkan dan efeknya terasa sekarang ini.

    BalasHapus
  2. betul, sangat sayang padahal sampai sekarang masih tersisa sebagian besar jaringan relnya. memang dalam pembangunan sistem transportasi pemerintah waktu itu belum mampu merancang secara visioner.

    BalasHapus

Posting Komentar