Analisis Keberlanjutan Community Based Tourism dalam Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Goa Cemara

Pohon Cemara Udang di Pantai Goa Cemara

Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari tiga kabupaten di DIY yang memiliki keistimewaan bentang alam berupa perbatasan dengan Samudera Hindia di sebelah selatan. Dengan keadaan geografis semacam ini, tak heran bila Bantul memiliki banyak oyek dan daya tarik wisata (ODTW) berupa pantai. Hingga saat ini menurut data dari Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul tercatat ada 9 pantai yang termasuk dalam ODTW alam di Bantul. Pantai-pantai tersebut antara lain Parangtritis, Parangkusuma, Depok, Samas, Pandansari/Patihan, Goa Cemara, Pandansimo, Kwaru, dan terakhir Pantai Baru.
            Berbeda dengan kabupaten tetangga, Gunung Kidul yang kini sedang naik daun karena wisata pantai pasir putihnya, pantai di Bantul secara estetis sebenarnya tidak istimewa. Pun banyak resiko yang membahayakan pengunjung  bila mandi di pantai. Karena berbatasan langsung dengan samudera luas dan tak ada bentang alam penahan gelombang, pantai-pantai di Bantul sebenarnya tidak direkomendasikan untuk kegiatan berenang atau sekedar berendam di air laut. Di pantai Parangtritis misalnya terkenal karena ombaknya yang ganas dan adanya palung laut di dekat pantai. Ombak pantai Parangtritis hingga saat ini telah menelan banyak korban jiwa. Sedangkan pantai-pantai di sebelah barat mulai dari Depok dan Samas kontur pantainya cenderung curam, ombaknya pun dalam kategori berbahaya sehingga ada larangan untuk berenang di pantai. Lantas apa yang membuat pantai-pantai di Bantul masih tetap dipadati pengunjung terutama di masa-masa liburan?
            Bicara tentang pantai di Bantul, tentu benak orang kebanyakan akan langsung tertuju ke Parangtritis. Pantai ini memang yang paling masyur, dan tak hanya karena keindahannya, namun juga karena mitos tentang Ratu Laut Selatan yakni Nyi Roro Kidul yang konon bermukim di laut lepas pantai ini. Jadi selain wisata alam, pantai ini juga menawarkan wisata budaya berupa tempat peziarahan. Ke sebelah barat ada pantai Depok yang sukses karena berhasil mengembangkan paket wisata bahari berupa wisata pantai dan kuliner laut. Di sini pengunjung tak hanya disuguhi hamparan laut, namun juga berkesempatan menyaksikan perahu-perahu nelayan berlabuh dengan hasil tangkapannya, berbelanja hasil laut segar di tempat pelelangan ikan, juga menikmati olahan hasil laut di rumah-rumah makan yang bertebaran di area pantai.
            Kemasyuran dua pantai yang telah disebutkan di atas, terutama Parangtritis, hingga sekarang masih menjadi ikon wisata Kabupaten Bantul. Maka dari itu, untuk menandingi kesuksesan Parangtritis sebagai daya tarik wisata pantai tampaknya sedikit mustahil dicapai pantai-pantai di Bantul lainnya. Namun anggapan itu agaknya bisa dipatahkan. Kawasan pesisir sebelah barat Bantul sejak akhir dekade lalu mulai dihidupkan oleh sektor pariwisata. Pantai-pantai di sebelah barat Pantai Samas mulai dikenal namanya. Sekarang setidaknya telah dikenal tiga pantai yakni Pantai Kuwaru, Pantai Goa Cemara, dan Pantai Baru. Kemunculan ketiga pantai tersebut sebagai objek wisata tak lepas dari peran besar masyarakat sekitar.
            Dalam tulisan ini saya akan memaparkan mengenai pengambangan pariwisata khususnya Pantai Goa Cemara sebagai salah satu contoh keberhasilan pariwisata berbasis masyarakat. Karena salah satu indikator pariwisata yang berkelanjutan atau sustainable tourism adalah derajat penerimaan masyarakat terhadap adanya objek atau daya tarik wisata tersebut.
            Salah satu alasan paling penting mengapa pariwisata penting bagi Indonesia karena menurut pakar, sekarang pariwisata adalah alat yang efektif dalam pengembangan ekonomi lokal. Inilah yang coba saya buktikan dengan memotret kawasan wisata Pantai Goa Cemara. Komponen pengembangan pariwisata yang paling penting adalah masyarakat lokal. Ini sesuai dengan paradigma sustainable tourism yang sebagai kritik terhadap mass tourism. Mass tourism adalah jenis wisata konvensional  yang mengandalkan daya tarik populer seperti sea, sand, sun. Uniknya, di kawasan wisata Pantai Goa Cemara sepertinya paradigma sustainable tourism masih bisa berdamai dangan sistem mass tourism di satu sisi.

Identifikasi Tantangan dan Dorongan Pengembangan Pariwisata Pantai Goa Cemara

a) Pengembangan Pariwisata yang Terpusat
            Kompleks Parangtritis seperti telah disebutkan di atas memiliki keistimewaan tersendiri yang ‘kekal’ dibanding pantai-pantai di Bantul bahkan di DIY lainnya. Secara statistik pendapatan, Pantai Parangtritis adalah penghasil retribusi terbanyak di Kabupaten Bantul selama bertahun-tahun hingga sekarang. Pun hasil dari retribusi ini digunakan lagi untuk semaksimal mungkin menunjang daya tarik tempat yang telah ikonik ini. Sebagai contoh, atraksi wisata hampir sepanjang tahun dilakukan di kompleks Pantai Parangtritis dibandingkan di tempat lain.
            Menurut data tahun 2012, pengeluaran Disbudpar Kab. Bantul tahun 2012 berupa belanja jasa pentas seni, dari 133 agenda, 115 diantaranya diadakan di kompleks Parangtritis-Depok-Parangkusuma, sedangkan 18 sisanya dibagi antara obyek wisata Pantai Pandansimo, Pantai Goa Cemara, Pantai Kwaru, Goa Cerme, dan Goa Selarong. Bagaimana mungkin pengambangan pariwisata bisa seimbang dan merata bila perhatian dari pemerintah pun terlihat sekali kesenjangannya. Tak heran bila hingga kini wisata pantai di Bantul masih identik dengan Parangtritis.

b) Alternatif Wisata Pantai ‘Teduh’          
            Tumbuhnya wisata pantai di sisi barat Bantul sebenarnya tidak terlalu baru, meski bisa dikatakan ‘booming’ baru sekitar 3 tahun belakangan ini. Hal ini karena adanya tiga pantai baru dengan tawaran suasanya yang cukup berbeda dari pantai-pantai lain di daerahnya. Tiga pantai tersebut adalah Kwaru, Goa Cemara, dan Pantai Baru.
            Sebelumnya di kawasan sebelah barat jajaran Parangtritis-Depok-Parangkusuma hanya dikenal Pantai Samas dan Pandansimo. Itupun nama Samas baru-baru ini mencuat lantaran ‘bencana’ abrasi yang memporak-porandakan kompleks hunian dan usaha di dekat pantai. Menurut pemberitaan, abrasi di Pantai Samas akhir tahun lalu mencapai 100 meter.
            Kompleks pantai anti abrasi pun kini menjadi solusi kerusakan lingkungan yang terus terjadi. Sejak beberapa tahun terakhir, di daerah Baros, muara batang air tawar yang mengarah ke Pantai Samas, giat diadakan penanaman bakau atau mangrove untuk menahan laju abrasi. Namun ternyata sejak belasan tahun yang lalu telah ada gerakan penghijauan pantai untuk mencegah abrasi yang diadakan di pesisir barat Bantul, utamanya dari barat Pantai Patihan/Pandansari ke barat sejauh lebih dari 3 kilometer hingga pantai Kuwaru dan pantai Baru. Di sepanjang tepi pantai ditanami pohon-pohon cemara udang Casuarina equisetifolia. Menurut Suranto, Ketua 1 Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Goa Cemara,  awalnya pohon-pohon tersebut ditanam sekitar 14 tahun lalu untuk wind barrier, demi memajukan area pertanian di sekitar (mayoritas penduduk Sanden hidup dari bertani). Selain menahan angin dan gelombang laut, pepohonan itu juga berfungsi menetralkan kadar garam di udara, juga untuk keuntungan pertanian dan menjaga cadangan air tawar di pesisir. Karena hutan cemara inilah kawasan Patihan pernah mendapat penghargaan Kalpataru.

c) Demografi Desa Gadingsari
            Semakin mengerucut ke topik bahasan saya yakni Pantai Goa Cemara, akan saya paparkan mengenai detail wilayah pantai ini. Pantai Goa Cemara dengan panjang sekitar 1,7 km secara administratif berada di Dusun Patihan, Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Kecamatan Sanden sendiri merupakan wilayah dengan luas 23,16 km2, jumlah penduduk 29.744 dengan tingkat kepadatan 1.287 jiwa per km2, sedangkan Desa Gadingsari memiliki luas wilayah 2.398m2, dan penduduk sebanyak 234 KK.
            Mayoritas mata pencaharian penduduk Gadingsari adalah bertani. Sedangkan produk pertanian unggulan desa ini adalah ubi jalar. Sebagai perbandingan di pesisir lebih barat yakni di sekitar Pantai Kuwaru dan Pantai Baru, sebagian penduduk juga berprofesi sebagai nelayan dan petambak udang yang sekarang sedang menangguk kesuksesan. Maka di sinilah letak keunikannya, Desa Wisata Gadingsari dengan perpaduan unik bentang alam dan budaya penduduknya mencoba menggabungkan wisata bahari dan budidaya hasil bumi. Gabungan budaya agraris dan maritim.

d) Community Based Tourism
            Menurut hasil wawancara dengan Suranto, Ketua 1 Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Goa Cemara, wisata pantai Goa Cemara awalnya berasal dari inisiatif warga setempat untuk mengikuti jejak kesuksesan wisata serupa yakni Pantai Kuwaru. Suasana pantai dengan bentang pesisir yang dirimbuni pepohonan cemara dianggap memiliki nilai tambah untuk wisata pantai yang teduh dan nyaman, berbeda dari citra wisata pantai pada umumnya yang cenderung panas.
            Maka pada tahun 2008 dimulailah pengembangan oleh warga sekitar ditandai dengan pembukaan akses jalan ke pantai dengan memotong seperlunya dahan-dahan cemara yang terlalu rimbun. Kemudian tanah sedikit dikeraskan dengan campuran batu hasil patungan warga. Setelah warga bergotong royong, TNI dan Pemda ikut membantu.
            Setelah siap, tahun 2008 Pantai Goa Cemara resmi dibuka untuk wisatawan. Awalnya pengunjung hanya sedikit sekali. Akhirnya warga menjalin kerjasama dengan pengelola kereta mini untuk wisata yang berangkat dari Pantai Kuwaru (yang lebih dulu booming) agar mau lewat dan mampir ke Pantai Goa Cemara. Lama kelamaan pengunjung semakin bertambah banyak.
            Melihat potensi tersebut, pemerintah pun bersedia turun tangan. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Bantul membantu warga untuk mengajukan proposal pembuatan jalan aspal, akses listrik ke wilayah pantai, dan juga pembangunan tempat pelelangan ikan (TPI). Semua proposal tersebut dikabulkan pada tahun 2010. Malah pemerintah juga membangun tempat penghasil listrik hybrid dari tenaga surya dan juga tempat konservasi penyu di sebelah barat kawasan Pantai Goa Cemara.
            Mulai tahun 2011, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab.Bantul resmi mengelola kawasan wisata yang mulai berhasil dikembangkan oleh warga setempat ini. Tahun 2011 didirikan TPR di akses jalan ke Pantai Goa Cemara. Kemudian tahun 2011 dan 2012 disalurkanlah bantuan dari PNMP untuk membuat pendapa dan gazebo untuk wisatawan.
            Setelah dianggap cukup potensial dan mendatangkan pemasukan, intervensi pemerintah di bidang pembangunan kawasan wisata Pantai Goa Cemara semakin gencar. Setelah pembangunan gazebo dan pendapa, dibangun pula area parkir kendaraan roda empat di sebelah utara. Kemudian pada tahun 2014 menyusul pelebaran jalan aspal untuk akses ke area wisata juga pembangunan pasar tempat menjual hasil bumi, khususnya ubi jalar Patihan, di utara kompleks rumah makan sekitar pantai. Semua kompleks penunjang wisata itu dibangun setidaknya 200 m dari bibir pantai untuk mencegah dampak terburuk abrasi.
            Meski telah mendapat bantuan dari pemerintah, namun kegigihan masyarakat Patihan dalam mengembangkan daerahnya dengan wisata pantai ini patut diacungi jempol. Mulai perintisannya, dalam proses pengembangannya pun hingga sekarang kawasan wisata Pantai Goa Cemara melibatkan penuh masyarakat sekitar. Tujuannya adalah untuk tambahan pendapatan selain dari bertani. Dari awal pengelola 28 orang, sekarang ada 70 orang yang terlibat dalam Pokdarwis Goa Cemara. Usaha penunjang yakni rumah makan, parkir, MCK, dan outbond juga dikelola oleh penduduk sekitar. Sekarang ada 15 rumah makan di area Pantai Goa Cemara dan semuanya milik penduduk Patihan Gadingsari.
            Pemberdayaan warga secara ekonomi dari hasil mengelola kawasan wisata ini diorganisasikan dalam bentuk Koperasi Serba Usaha (KSU) Goa Cemara. Semua penghasilan yang didapatkan baik dari parkir, MCK, outbond, dan pedagang, dibagi 60% untuk dibagi ke personel, 40% masuk ke kas KSU Goa Cemara. Menurut Suranto, penghasilan dari mengelola tempat wisata ini memberikan keuntungan tersendiri bagi para anggota. Namun meski bisa dianggap sebagai sumber pendapatan, masyarakat Patihan Gadingsari tidak bisa lepas dari kultur bertani.

Analisis Keberlanjutan
            Pembangunan kawasan wisata Pantai Goa Cemara ini adalah salah satu contoh keberhasilan model pariwisata berkelanjutan bila dilihat dari sisi community host atau masyarakat sekitar kawasan itu, di mana mereka tak hanya terlibat, tapi juga menjadi aktor utama penggerak pariwisata. Namun apakah itu cukup untuk membuat suatu sistem pariwisata yang berkelanjutan?
            Terlebih dahulu kita harus memahami apa definisi dari pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism tersebut. Menurut World Tourism Organization, definisi pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism adalah:
Tourism that takes full account of its current and future economic, social and environmental impacts, addressing the needs of visitors, the industry, the environment and host communities.
            Selain definisi, ada pula empat dimensi sustainable tourism yakni economically viable, environmentally sustainable, social and culturally acceptable, technologically sppropriate. Empat pilar pariwisata yang bertanggung jawab mensyaratkan: a) meminimalkan dampak lingkungan b) menghormati budaya masyarakat setempat c) memaksimalkan kepuasan wisaawan d) memaksimalkan manfaat bagi masyarakat lokal. Bahkan kode etik pariwisata  global pada pasal 5 menyebutkan bahwa pariwisata adalah kegiatan yang bermanfaat untuk negara dan masyarakat tuan rumah. Ayat 1 dengan jelas menyebutkan bahwa orang-oranng lokal harus disertakan dalam kegiatan pariwisata dan berbagi manfaat ekonomi, sosial, dan budaya yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut, dan khususnya menciptakan lapangan kerja langsung maupun tak langsung bagi masyarakat lokal.
            Di Indonesia, pemberdayaan potensi lokal dalam pengembangan pariwisata diwujudkan dalam pengembangan Desa Wisata dan pembinaan kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Di Kabupaten Bantul sendiri jumlah Desa Wisata yang tercatat dalam statistik masih terus bertambah. Menurut data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bantul, tahun 2008 , tahun 2010 bertambah menjadi 18 desa wisata, sedangkan catatan terakhir tahun 2013, sekarang ada 32 desa wisata di Bantul, termasuk desa wisata Goa Cemara. Dalam status, tertulis ‘tumbuh’, yang berarti kawasan itu sedang berkembang.
            Desa wisata Goa Cemara sebenarnya lebih tepat disebut sebagai Desa Wisata Gadingsari, sesuai dengan nama sah wilayahnya. Pun seharusnya pemerintah pada awalnya tak hanya fokus membangun wisata pantainya saja, namun juga harus mengembangkan seluruh desa sebagai tujuan wisata. Untuk itulah di Desa Gadingsari telah ada 10 homestay seperti  di desa-desa wisata lain. Tentu dengan atmosfer yang khas, suasana agraris pesisir, namun sayangnya pemerintah sepertinya masih terjebak dengan pola-pola pariwisata massa yang populer. Desa wisata Gadingsari belum dikembangkan dengan rancangan yang pas agar berkelanjutan. Konsep desa wisata yang ideal pun belum tercapai. Malah, homestay yang ada menurut pengakuan pengelola hasilnya masih jauh dari harapan karena faktor penunjang belum siap.
            Masih dari sumber Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bantul, data-data mengenai Desa Wisata Goa Cemara masih sebatas angka pengunjung dan pendapatan per tahun, disandingkan dengan obyek-obyek wisata beretribusi lainnya. Bahkan menurut sumber dari Pokdarwis Goa Cemara, pantai ini langsung diberi tempat untuk pemungutan retribusi begitu diketahui minat berkunjung wisatawan ke pantai ini terus meningkat.
            Menurut data realisasi pendapatan, pada tahun 2011 TPR Parangtritis menduduki tempat tertinggi dalam perolehan retribusi sebesar Rp 4.145.127.000 dari 1,325,853 pengunjung,  disusul Pantai Kwaru Rp 578.313.500 dari 268.435 pengunjung, Pantai Pandansimo Rp 116.678.500 dari 54.290 pengunjung, Kolam Renang Tirtatamansari dengan Rp 92.335.000, Pantai Samas Rp 78.693.500 dari 36.256 pengunjung, Goa Selarong Rp 59.699.000 dari 27.473 pengunjung, Goa Cerme Rp 20.650.800 dari 17.209 pengunjung, dan Pantai Goa Cemara yang baru masuk dalam daftar dan belum diberi target langsung mencatatkan angka 10.901 pengunjung dengan pendapatan Rp 21.802.000, melebihi Goa Cerme.
            Setahun berikutnya angka tersebut naik meski belum ke posisi atas. Dari 8 TPR, TPR Pantai Goa Cemara tahun 2012 mendapat penghasilan lima besar sebanyak Rp 168.266.000 dari 84.133 pengunjung. Ada di bawah TPR Parangtritis, TPR Pantai Samas, TPR Kwaru, dan TPR Pandansimo. Naik hampir 8 kali lipat dari tahun sebelumnya. Di tahun-tahun berikutnya angka tersebut terus bertambah. Bisa dilihat secara kasat mata kini setiap akhir pekan pantai ini selalu dipadati pengunjung. Kelak data statistik pun akan bisa membuktikannya.
            Jadi, kesalahan penanganan kawasan wisata Pantai Goa Cemara adalah dengan mengelolanya dengan paradigma mass tourism di saat ia menyandang predikat sebagai Desa Wisata. Padahal menurut paparan kuliah mengenai Desa Wisata, pengertian desa wisata adalah Suatu wilayah pedesaan yang memiliki keunikan dan daya tarik yang khas (baik berupa daya tarik/ keunikan fisik lingkungan alam pedesaan maupun kehidupan sosial budaya kemasyarakatan). Isu-isu strategis pengembangan desa wisata pun tak hanya masalah ekonomi (kewirausahaan dan skala ekonomi), namun juga daya dukung yang berkaitan dengan alam.
            Sama seperti pantai Samas, Pantai Goa Cemara juga mengalami ancaman abrasi. Penebasan pohon-pohon cemara untuk akses pengunjung ke pantai di sisi lain berkontribusi merusak hutan cemara yang ada. Padahal tanpa hutan cemara yang asri, Pantai Goa Cemara tidak akan menarik wisatawan seperti sekarang.
            Di bagian yang menjorok ke pantai, beberapa pohon cemara telah rubuh diterjang abrasi. Pun di bagian dalam rimbunan hutan, sejumlah ranting pohon rusak karena ulah pengunjung yang sembarang memanjat dan menduduki ranting yang tak terlalu besar tersebut.
            Kelak, saat Pantai Goa Cemara semakin terkenal dan pengunjung semakin membeludak, ancaman kerusakan lingkungan akan semakin nyata. Jika terus dibiarkan tanpa perawatan dan pendidikan bagi para pengunjung, dalam beberapa tahun ke depan Patihan tak hanya akan kehilangan ODTW andalannya, namun juga kehilangan hutan cemara sebagai wind barrier penopang pertanian.

Solusi Program dan Kebijakan
          Dengan statusnya sebagai obyek wisata alam, solusi penanganan untuk keberlanjutan pariwisata Pantai Goa Cemara adalah menjaga kelestarian alamnya. Hal tersebut antara lain dengan mengadakan:
1) Pemulihan ekosistem secara berkala yakni menanam pohon cemara udang pengganti pohon-pohon yang telah rubuh/mati. Hal ini bisa dilakukan setahun sekali sewaktu musim penghujan, saat kemungkinan pengunjung tidak seramai musim kemarau yang cerah.
2) Sementara ekosistem pantai dipulihkan seperti sediakala, area wisata di luar radius 200 meter dari bibir pantai bisa dikembangkan untuk menarik pengunjung. Wisata kuliner laut dan pasar hasil bumi yang telah dibangun bisa dikembangkan untuk alternatif wisata. Untuk itu perlu mengadakan event menarik seperti pesta kuliner rakyat yang dimeriahkan oleh pertunjukan-pertunjukan.
3) Memberi branding yang jelas serta sasaran program-program pengembangan untuk target wisatawan khusus. Satu yang sering luput dari pengelola desa wisata pantai di Bantul adalah memetakan pengunjung setia. Pantai Goa Cemara sejatinya adalah kompleks wisata murah untuk masyarakat SES B-C, dengan spesifikasi wisatawan domestik, keluarga, dan suka berlibur di akhir pekan. Maka sebaiknya dikembangkan lagi gelaran seni pertunjukan di akhir pekan untuk menyenangkan pengunjung.
4) Mengembangkan Desa Wisata
Status desa wisata dan fasilitas homestay telah dimiliki. Sekarang tinggal tugas mengembangkan aspek-aspek pendukungnya. Daya tarik yang bisa dikembangkan di Patihan Gadingsari adalah budaya pertanian dan kelautan yang bersanding.
a. Wisatawan bisa menikmati kehidupan khas pedesaan Bantul dengan atmosfer agraris dan maritim sekaligus.
b. Wisatawan bisa dikenalkan dengan budidaya ubi jalar khas Patihan yang konon kualitasnya terbaik. Produk ini bisa dijadikan olahan khas untuk buah tangan dari Pantai Goa Cemara.
c. Wisatawan bisa dikenalkan dengan pemanfaatan teknologi hybrid sel surya sebagai penghasil listrik, sebagai wisata edukasi.
d. Wisatawan diajari untuk cinta lingkungan bahari, antara lain dengan menawarkan program reboisasi menanam cemara udang atau ikut berdonasi dalam konservasi penyu dengan ambil bagian dalam pelepasliaran tukik.

Penutup
          Demikianlah paparan singkat mengenai kawasan wisata berkembang Pantai Goa Cemara di Patihan Gadingsari, Sanden, Bantul, DIY. Dari hasil analisis tampak bahwa pengembangan pariwisata berbasis masyarakat adalah nilai tambah luar biasa karena pengembangannya bisa cepat, apalagi bila memanfaatkan daya tarik alam. Dari paparan ini terbukti bahwa dalam waktu  4 tahun saja kawasan Pantai Goa Cemara yang tadinya hutan cemara tak tersentuh kini menjelma kawasan wisata dengan ribuan pengunjuang per tahun dan salah satu penyumbang pemasukan bagi PAD Kab. Bantul. Di sisi lain masyarakat sekitar yang mengembangkannya pun turut merasakan manfaat ekonomi.
            Namun menggantungkan pada alam berarti harus menjaga kelestarian alam, dan konsep desa wisata yang merupakan turunan dari wisata minat khusus agar dikembangkan di Patihan sehingga sektor pariwisata di sini agar tidak 100% mengandalkan pada Pantai Goa Cemara dan agar tak jatuh pada paradigma mass tourism yang beresiko merusak daya dukung lingkungan.


Sumber:
Wawancara dengan Suranto, Ketua 1 Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Goa Cemara, Minggu, 2 November 2014.

Materi Kuliah Sustainable Tourism Development, paparan dengan judul:
PEMBANGUNAN PARIWISATA 1 dan
PAPARAN DESA WISATA (vers-4 AGT 2008)

bantulkab.bps.go.id


Komentar