Cerita di Pulau #4: Nggak Ada Orang Lain di Sini, Semua Saudara!

Warga Maratua pulang dari mengantar sanak saudara di dermaga Kampung Payung-Payung
"Nggak ada orang lain di sini, semua saudara", kata hampir semua tetangga yang kita temui waktu silaturahmi. Jadi, kalau kawan bertanya tentang silsilah kekerabatan pada orang kampung asli Maratua, hampir pasti itu jawabannya. Kalau jawabannya bukan itu berarti ia pendatang atau keturunan pendatang.
Mayoritas penduduk Maratua orang Suku Bajau. Pendatangnya ada dari Bugis, Berau, Jawa juga ada meski hanya untuk urusan pekerjaan. Sempat beberapa kali mendapat cerita tentang nenek moyang, ternyata penduduk pulau itu baru turun-temurun sekitar 5 generasi. Tapi jumlahnya sudah ribuan. Saya jadi sempat berpikir, kalau semua orang di situ bersaudara, perkawinan yang terjadi pun antar kerabat dong? Bayangkan kalau pasangan kita itu saudara, meskipun saudara jauh. Hmm tetap saja rasanya aneh.
                Tapi ya mau gimana lagi, Pulau Maratua itu kecil, orang ya hidupnya di situ-situ aja. Dulu mau menyeberang pulau pun susah. Tapi sekarang sudah mendingan. Banyak speedboat dan kapal wira-wiri ke Pulau Kalimantan. Generasi muda Maratua sekarang, selepas SMA bila mau lanjut ke perguruan tinggi mau tak mau harus ke Kalimantan. Jadi banyak anak-anak muda yang merantau, meski lebih banyak yang putus pendidikannya lalu menikah. Nah, menikah muda di sini juga suatu hal yang wajar. Wanita lulus SMP, lulus SMA menikah wajar. Dan laki-laki pun wajar juga menikah muda.
                 Oh ya, menurut adat di sini perempuan adalah pewaris rumah orang tua, karena kelak ia yang diwajibkan merawat orang tua. Jadi ada hal unik di sini. Setiap perkakas rumah tangga, khususnya piring dan gelas pasti berukirkan nama anak sulung perempuan keluarga itu. Kenapa? Karena saking kecilnya Maratua, tidak ada perusahaan catering maupun persewaan alat pesta, wajar terjadi saling pinjam perkakas untuk keperluan hajatan. Biasanya ibu-ibu kan yang sering ngurus konsumsi hajatan. Nah, biar tidak saling tertukar antar pemilik diberi nama si ahli waris. Bagaimana kalau sebuah keluarga tak punya anak perempuan? Ya diukirkan nama sang nyonya rumah. Hahaha.
                Maratua itu kecil sekali sampai-sampai acara pernikahan adalah pesta bagi keempat kampung tanpa kecuali. Kalau ada seseorang punya hajatan pernikahan, orang-orang dari empat kampung datang meramaikan. Pas saya di sana kebetulan ada dua kali pesta pernikahan di Bohe Silian. Orang-orang Bohe Bukut, Payung-payung pada naik motor kondangan. Orang Teluk Alulu yang terpencil datang berombongan naik mejeng (kapal kayu bermesin ukuran sedang, biasa untuk cari ikan di tempat agak jauh). Suguhan yanga pasti ada di acara nikah tentu makanan khas laut. Tumis balelo (semacam keong laut) dan kima. Sedang suguhan hiburan tentu grup dangdut dari Sulawesi. Yang paling laris diundang, termasuk diundang waktu mantunya Pak Melban adalah Grup Karya Budaya. Tak tanggung-tanggung, karena padatnya jadwal grup ini, acara mantunya Pak Melban sampai direschedule hingga dua kali! Waaak, jadi bingung kan mana sebenarnya yang lebih penting? Itulah yang terjadi di pulau kecil haus hiburan ini. :-p. Tapi penantian itu worth it. Karya Budaya dengan 10 biduannya yang seksi mampu menggoyang resepsi itu dari sore hingga dini hari! Makin pagi biduannya makin hot dan seronok. Penonton pun makin panas, hingga akhirnya hiburan terhenti akibat perkelahian sebagian penonton yang mulai kalap. Begitulah, karena kecilnya Maratua, apapun kejadian heboh di acara pernikahan esok harinya bisa jadi buah bibir di tiap penjuru kampung.
                Di balik kemeriahan acara perkawinan di Maratua ada kisah kerja keras warga kampung. Tak ada jasa-jasa penyewaan perlengkapan nikah, jadi semua dikerjakan gotong-royong warga kampung. Dari bikin panggung, kursi-kursi panjang non-permanen dari kayu kelapa, sampai masak-memasak. Tak ada percetakan, jadi membikin undangan, sekaya apapun empunya hajat, pasti cuma pakai kertas undangan pabrikan bergambar pengantin yang harus diisi manual dengan bolpoin.
                Ada kisah lucu, jadi waktu saya sedang liputan di Bohe Silian, saya mendadak jadi translater sepasang bule yang mau beli lobster. Diantarlah kami ke rumah juragan lobster, Pak Melban namanya. Kebetulan ia sedang akan mantu anak perempuannya (seumuran denganku, kayaknya lebih muda). Waktu ditemui dia sedang istirahat sama beberapa bapak-bapak lain usai membangun panggung. Sambil menunggu kita disuguh teh panas dan kue keroncong (semacam pukis tapi warnanya kuning, dan digoreng. Dari adonan terigu, telur, mentega, dan santan). Saat itulah sebagian mereka sibuk mengisi kertas-kertas undangan dengan bolpoin. Melihat anak KKN datang, begitu saja dihibahkan tugas menulis ratusan undangan itu. Alamaak. Untung sub unit saya di kampung sebelah, jadi saya kasih tugas itu pada kawan-kawan sub unit Bohe Silian yang kontan saja mengeluh kerepotan. Hahaha.

                Oh ya, saking kecilnya Maratua dan keterbatasan manusianya, akan jadi sebuah kebanggaan kalau bisa mendapat pasangan seorang pendatang atau orang dari luar pulau. Namun ini kasus yang langka. Kalau bosan dengan orang selingkungan, menikah dengan tetangga kampung pun jadi solusi, hahaha. Perempuan yang hendak dipinang untuk menikah biasanya diberikan mahar uang atau istilah lokalnya ‘jujuran’. ‘Harga’ perempuan di sana ditentukan oleh bibit dan bobotnya. Kalau ia dari keluarga terpandang, harganya mahal. Pendidikan seorang perempuan meski di pulau kecil ini pun dihargai. Semakin tinggi pendidikan, semakin mahal jujurannya. Rata-rata ‘harga pasaran’ jujuran untuk meminang perempuan di Maratua sekitar 15 juta rupiah (menurut sumber salah orang sana). Rekor termahal dipegang oleh seorang perempuan Bohe Silian. Dia seorang sarjana,anak orang terpandang pula. Konon jujurannya menembus Rp 30 juta. Jujuran itu belum termasuk seserahan yang harus diserahkan waktu akad. Karena penduduk Maratua hampir semua muslim, seserahan untuk pengantin perempuan biasanya miniatur masjid. Katanya sih, itu hadiah bagi calon istri yang bisa mengaji. Kalau dulu warga Maratua biasa memberikan awetan penyu sisik untuk hadiah bagi pengantin perempuan dari pihak laki-laki. Tapi karena kini penyu tidak boleh ditangkap, adat itu pun hilang. 

Komentar

  1. Untuk Anda para Pecinta Judi Online yang takut hasil kemenangan Anda tidak dibayar, Saya ingin merekomendasikan Anda di S128Cash Bandar Judi Online Terbaik dan Terpercaya.
    Saya berani jamin, seberapa besar kemenangan Anda pasti akan tetap dibayar.
    Dengan begitu Anda bisa bermain dengan nyaman dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
    S128Cash sendiri menyediakan semua permainan FAIRPLAY serta Populer, seperti :
    - Sportsbook
    - Live Casino
    - Sabung Ayam Online
    - IDN Poker
    - Slot Games Online
    - Tembak Ikan Online
    - Klik4D

    Dapatkan juga berbagai PROMO BONUS Menarik dari S128Cash, yaitu :
    - BONUS NEW MEMBER 10%
    - BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
    - BONUS CASHBACK 10%
    - BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!

    Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi kami melalui :
    - Livechat : Live Chat Judi Online
    - WhatsApp : 081910053031

    Link Alternatif :
    - http://www.s128cash.biz

    Judi Bola

    Situs Judi Bola Terbesar

    BalasHapus
  2. Without the networks, there will be an “empty space” in the global media, and “Russia and Chinese propaganda will fill in,” Russian-American journalist Alsu Kurmasheva warned.
    사천출장샵
    애인대행
    사천출장샵
    구미출장샵
    인천출장샵

    BalasHapus

Posting Komentar