Sumur depan masjid kampung Payung-Payung waktu musim kemarau |
Saya mau bercerita tentang susahnya mendapatkan air di pulau
kecil terluar dan terdepan Indonesia ini. Di mana warganya telah bertahan sejak
era kemerdekaan dengan terus berkutat pada kesulitan air. Di sana hanya ada
tiga pilihan sulit: menampung air hujan, membeli air dari kampung sebelah, atau
menyuling air laut.
Hidup di Maratua dengan orang-orangnya benar-benar membuatku
belajar survive dalam keadaan serba
terbatas. Bahkan dalam hal pokok: AIR! Waktu musim kemarau, mendapatkan air
susahnya minta ampun. Bayangkan saja, pulau Maratua adalah pulau atol nyaris
sempurna. Buminya banyak dari kapur. Ada 4 kampung di sana, dan 3 dari 4
kampung, pemukimannya sangat dekat dengan laut. Bahkan ada sebuah kampung yang
dua sisi daratnya berbatasan dengan air laut. Bayangkan, bagaimana caranya
mendapatkan air tawar murni kalau ‘penyaring’nya saja tidak memadai? Hanya ada
satu kampung yang wilayah daratnya cukup lebar dan cukup berjarak dengan laut
sehingga memiliki ‘pasir yang lebar’. Jadi air laut cukup tersaring asinnya dan
jadilah warga bisa menggali sumur-sumur air tawar.
Tapi sayangnya saya hidup di salah satu dari tiga kampung
yang kesulitan air tersebut. Kampung Payung-Payung. Bisa dibilang kampung ini
sedikit beruntung namun malah sial. Haha. How?
Jadi, dua kampung ‘kering’ lain. Bohe Silian dan Teluk
Alulu, keadaannya lebih parah dari Payung-Payung. Bohe Silian tidak punya
pantai, letaknya berpunggungan dengan Payung-Payung, dan hanya sedikit sumur
air payau yang bisa dibuat. Jadi konon kata warga Payung-Payung, waktu musim
kemarau warga Bohe Silian yang kekeringan sering menyerbu Payung-Payung yang
punya lebih banyak sumur. Lebih parah lagi Teluk Alulu. Di kampung terpanjang yang
dua sisi daratnya berbatasan dengan laut ini hanya ada satu sumber air tawar.
Namanya Bohe Naga, airnya dipakai warga untuk semua keperluan dari MCK, bikin
es batu untuk mengawetkan ikan, mungkin hingga memasak. Bohe Naga ini adalah
satu-satunya sumber air bersih alami di Kampung Teluk Alulu. Bayangkan!
Tapi justru itu, karena kesulitan air taraf mengenaskan yang
dialami, pemerintah melalui PDAM membuat sistem desalinasi atau penyulingan air
laut bagi kedua kampung itu. Dari hasil saya mengobrol-ngobrol dengan seorang
pegawai PDAM yang sedang melakukan tinjauan instalasi air tawar Bohe Silian-Payung-Payung,
Maratua ini beruntung masih bisa ‘ditolong’ dengan mesin desalinasi air laut.
Kenapa? Karena air laut Maratua masih bersiiih. Cukup bersih dari polutan dan
jernih hingga mesin penyulingan tak harus bekerja ekstra keras. Kampun Teluk
Alulu dibikinkan mesin desalinasi air laut meski dengan instalasi cukup
sederhana. Warga yang rumahnya cukup berjauhan bisa datang ke tempat mesin itu
dengan jerigen untuk mendapatkan air tawar. Kampung Bohe Silian bahkan sampai
dibikinkan instalasi satu komplek cukup besar untuk memasang mesin penawar air
laut. Di sini disediakan tempat MCK juga. Dan menurut desain, dipilih Bohe
Silian karena letaknya yang relatif lebih tinggi dari Payung-Payung. Jadi hasil
sulingan dari PDAM Bohe Silian itu ditampung di sebuah bak besar di ujung
kampung, kemudian disalurkan melalui pipa-pipa yang instalasinya sampai ke tiap
unit rumah warga Kampung Payung-Payung.
Gedung dengan instalasi desalinasi air laut Kampung Bohe Silian. Dok. Kehati |
Namun sayang, warga Payung-payung tak juga bisa menikmati
air tawar hasil sulingan itu. Hanya sekali saya menyaksikan air tawar dialirkan
ke Payung-Payung. Yaitu waktu para petugas PDAM dan konsultan datang meninjau
jelang perayaan 17 Agustus, dimana dikabarkan bahwa Menteri Susi akan datang
berkunjung merayakan apel nasional. Aliran air itupun tidak lama, alasannya karena
banyak pipa yang rusak. Setelah itu, bahkan hingga para petugas dari Jawa itu
pergi, pipa-pipa air di Payung-payung tetap tak mengalirkan air. Jadi selama KKN
di sana saya merasakan kehidupan perairtawaran di Payung-payung sangat
mengenaskan. Karena tak enak terus mengeksploitasi air tuan rumah dan tetangga,
saya sering menahan diri untuk mandi. Dua hari sekali, tiga hari sekali, bahkan
pernah hampir empat hari saya tak mandi dan untung saya sedang tak terlalu
peduli pada diri sendiri. Hahaha. Untuk mencuci baju, jika malas bawa air ke
rumah, kita harus ke tempat cuci bersama dekat sebuah sumur. Kadang kalau capek
menimba kita sampai numpang ke Kampung Bohe Bukut yang kaya air.
Demi memenuhi dua drum air di rumah untuk keperluan cuci
piring dan bersih-bersih sekedarnya, kita harus bangun subuh, dua kali
mendorong gerobak berisi tujuh hingga delapan jerigen aneka ukuran, tapi
semuanya lebih dari 10 liter. Untuk mengambil air, kita harus mencari sumur
yang airnya sudah cukup ‘naik’. Tapi sialnya lagi, air yang cepat naik dan
jarang diambil biasanya asin. Air yang paling diburu warga adalah dari sumur
besar depan masjid, dinamai sumber air sibara or something aku lupaaa L. Nah, sumur itu airnya
tawar dan jadi favorit warga, sampai-sampai kalau mau ambil air di situ pas
waktu ‘prime time ambil air’ harus antri. Belum kalau kita kebagian terakhir,
duh. Air cuma tinggal secekungan kecil. Harus ati-ati nimbanya, salah-salah
banyakan masukin pasirnya.
Teman-teman 'piket' bangun subuh untuk menimba air dari sumur |
Tapi istimewanya kampung Payung-Payung, kayaknya gampang
bikin sumur yang airnya payau rada-rada tawar. Buktinya, waktu beberapa warga
coba gali sumur baru di dekat sumur ‘sibara’, air tawar langsung mengalir tak
habis-habis meski sudah memenuhi beberapa drum. Tapi kata salah seorang warga
sih, fenomena unlimited fresh water
dari sumur galian baru tu nggak bertahan lama. Paling-paling kalau sudah pol
eksploitasi di awal, ketahuan deh asalnya air laut juga, jadi payau.
Oh ya,sebagian besar warga Payung-payung ambil airnya manual
banget seperti kubilang di atas. Timbanya pun timba tangan tanpa katrol, karena
kalau pakai katrol pasti keruh airnya. Wong dasar sumur tu pasir putih alus,
jadi nimbanya harus hati-hatiii banget. Huft, sebanding sama angkat barbel di
gym lah. Nah, tapi ada pula warga yang cukup beruntung gak harus nimba tiap
hari. Mereka rumahnya dekat sumur, jadi bisa pakai pompa air. Istilah di sana
nge-dab, ambil air pakai mesin langsung dimasukin ke tangki pribadi.
Nah soal tangki ini, jadi, tiap rumah di kampung
Payung-Payung kulihat minimal punya dua atau tiga tangki profil ukuran 2200
literan. Kata seorang teman, waktu program PNPM masuk Maratua, warga mintanya
dikasih tangki air besar-besar itu. Maka pemandangan tabung-tabung besar oranye
berderet yang ditaruh di samping atau belakang rumah warga ini terlihat sangat
lumrah. Tangki ini kalau musim kemarau kebanyakan nganggur. Kalau musim hujan,
jadi tempat panen air. Syukurlah saya pernah mengalami sekitar 3 kali hujan
waktu di sana. Dua kali cukup deras. Dan benar-benar saya dan teman-teman KKN
merasakan sensasi euforia bagai melihat hujan emas. Hahaha. Warga di sini
dengan cerdas menghubungkan talang air di atap dengan mulut profil tank. Kalau
hujan deras, dengan cepat tangki-tangki tersebut terisi penuh. Tapi tetap saja
ada air hujan yang tak tertampung. Nah dengan segala upaya, warga, termasuk
saya waktu hidup di sana,berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin air. Entah
dengan baskom, ember yang lalu diisikan ke jerigen-jerigen. Bahkan sampai
memanfaatkan terpal untuk menampun air ke dalam drum kecil. Kalau mampu sih,
maunya tuh air hujan jangan sampai terserap ke tanah, hahaha.
Persiapan 'memanen' air hujan |
Air hujan super tawar ini dipakai untuk keperluan terutama
memasak. Bahkan ada warga yang mengaku sakit perut kalau minum atau menyantap
masakan berkuah bukan dari olahan air hujan. Ckckck, padahal air hujan ini
karena belum terserap ke tanah jadi tidak punya kandungan mineral. Di Kampung
Teluk Alulu, kata temanku yang sempat praktek periksa gigi di sana, banyak
warganya yang giginya keropos karena hanya mengonsumsi air hujan saja dan tidak
air dari sumur. Jadi kekurangan mineral begitu ceritanya.
Saya juga heran, sudah sekitar 5 generasi manusia tinggal di
Maratua, dan mereka bertahan dengan kesulitan air semacam itu. Air laut jadi
halaman depan, air tawar jadi harta buruan. Kolam penampungan air tawar di
Kampung Bohe Bukut setiap hari didatangi pickup
membawa tangki profil untuk kemudian diisi penuh, dibawa ke kampung-kampung
yang kekeringan. Bisa untuk konsumsi pribadi, bisa juga dijual. Mahal harga
satu tangki, tapi saya belum pernah beli. Induk semang saya saja yang beli air
hanya satu drum khusus untuk masak harus merogoh kocek sekitar 50 ribuan.
Karena air tawar menjadi berharga, bahasa bajau air, bohe, digunakan untuk
nama-nama tempat. Dua kampung memiliki awalan bohe. Yang pertama Bohe Bukut,
alias Kampung Teluk Harapan. Bukut artinya belakang. Kampung ini dinamai Bohe
Bukut karena air bisa didapat di ‘belakang rumah’. Karena mudahnya dapat air tempat
ini lantas pula dinamai Teluk Harapan, karena nenek moyang dulu setelah
berkeliling pulau mencari air akhirnya menemukan pengharapan waktu menginjak
tempat ini. Lain lagi Bohe Silian. Kampung tertua Maratua ini dulu dijelajahi
nenek moyang warga untuk mencari sumber air tawar. Lantas ada seorang bernama
Silian yang berhasil menggali sumur, lantas sumber ini dinamai Bohe Silian, dan
akhirnya menjadi nama kampung nelayan itu hingga sekarang.
Untuk Anda para Pecinta Judi Online yang takut hasil kemenangan Anda tidak dibayar, Saya ingin merekomendasikan Anda di S128Cash Bandar Judi Online Terbaik dan Terpercaya.
BalasHapusSaya berani jamin, seberapa besar kemenangan Anda pasti akan tetap dibayar.
Dengan begitu Anda bisa bermain dengan nyaman dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
S128Cash sendiri menyediakan semua permainan FAIRPLAY serta Populer, seperti :
- Sportsbook
- Live Casino
- Sabung Ayam Online
- IDN Poker
- Slot Games Online
- Tembak Ikan Online
- Klik4D
Dapatkan juga berbagai PROMO BONUS Menarik dari S128Cash, yaitu :
- BONUS NEW MEMBER 10%
- BONUS DEPOSIT SETIAP HARI 5%
- BONUS CASHBACK 10%
- BONUS 7x KEMENANGAN BERUNTUN !!
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi kami melalui :
- Livechat : Live Chat Judi Online
- WhatsApp : 081910053031
Link Alternatif :
- http://www.s128cash.biz
Judi Bola
Situs Judi Bola Terbesar