Kisah dari Pulau #2

Persiapan lomba dayung sampan perayaan 17 Agustus warga Kampung Payung-Payung, Maratua

Untuk pertama kali dalam hidup saya tinggal di suatu tempat asing selama 2 bulan lebih. Namun dengan 'setting' yang luar biasa menguntungkan, saya bahagia dengan kehidupan di Pulau Maratua.

Sulit menjelaskan situasi menguntungkan ini kalau kawan tidak mengalaminya langsung. Tapi mungkin mudah bagi kawan-kawan yang pernah menjalankan KKN di daerah terpencil untuk memahami perasaan saya waktu itu. Secara sederhana, posisi kita waktu KKN adalah sebagai pendatang yang dinilai secara tinggi, disambut positif, dan menjadi kesayangan warga. Susah kemudian bagi kita untuk fokus pada hal-hal tentang diri sendiri, karena suasana yang terbangun dengan masyarakat membuat kita sebisa mungkin ingin membaur, bekerja untuk memberikan hal-hal yang sekiranya bermanfaat dan berguna. Mungkin kawan bisa membaca tulisan apik dan inspiratif dari Butet Manurung di sini untuk mendapatkan gambaran sekiranya apa yang bisa orang rasakan kala pergi ke tempat terasing, tanpa tendensi egois dan hanya mau bekerja mengabdi.

Tapi yaah, awalnya tujuan anak-anak KKN tak semurni itu. Selain tuntutan akademis, juga pemilihan tempat sering didasarkan pada tempat-tempat yang 'liburanable', yang 'kapan-lagi-liburan-ke-situ-kalau-bukan-pas-kkn? Maratua untungnya termasuk kategori ini. Potensi wisatanya ciamik seperti bisa kawan-kawan simak di majalah ini. Saya beruntung bisa merasakan euforia melihat laut dengan gradasi warna biru turqoise hingga biru tua. Beruntung sekali hidup di sebuah kampung yang berandanya adalah laut yang asyik buat berenang, dengan penyu hijau dan lionfish gampang dilihat berlalu lalang dekat dermaga kayu. Pertama kali juga dalam hidup saya merasa betapa sinar bulan sangat mempengaruhi langit malam. Betapa indahnya berjalan di dermaga panjang tengah laut kala purnama, dan betapa gelap gulita kala bulan mati dan hanya riuh ombak yang jadi primadona malam. 

Itulah keindahan-keindahan sederhana yang sewaktu di sana bagaikan keseharian, tapi setelah kini jauh selalu terbayang-bayang. Tak tahu lagi kapan bisa memandang Pulau Kakaban dari kejauhan. Entah apakah masih sempat keliling-keliling berburu gua dan danau air asin dengan ubur-ubur tanpa sengatnya. Kapan lagi bisa berenang di dekat dermaga bersama anak-anak laut. Dan kapan lagi bisa dengan gampang meminjam sampan ke tetangga untuk berdayung waktu air sedang pasang.

Warga Maratua sudah sangat baik menampung tim KKN kami selama dua bulan. Bila diceritakan satu-satu bakal sangat panjang. Tak bisa tidak kami merasa berhutang budi bila ingat apa-apa yang sudah diberikan warga kepada kami. Mulai dari ikan oleh-oleh hasil melaut, ajakan berjalan-jalan menjelajah objek-objek alam, suguhan makan besar hingga kue-kue dan teh atau es blender instan tiap kami berkunjung, dan pemberian-pemberian lainnya. Kala kami berangkat meninggalkan pulau di tengah haru biru, ada teman yang berkata, "Yang membuat aku sedih sebenarnya bukan hanya karena harus meninggalkan pulau ini, tapi karena aku merasa mungkin kita nggak akan ketemu lagi,"

Memang jauh tempat itu, dan momen untuk kembali ke sana memang susah. Ada halangan jarak, kepentingan kolektif, waktu luang, dan biaya yang mungkin tak sanggup lagi kami sediakan untuk menikmati kehidupan yang pernah kami rasakan selama dua bulan itu. Semua itu malah membekaskan kenangan lebih dalam lagi. Kenangan pengabdian itu akan terus

menerbitkan angan-angan untuk bisa kembali meski sekedar menyapa dalam suasana hidup yang berbeda.